Dosen Fakultas Pertanian (FP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Prof Dr Erlyna Wida Riptanti SP MP dari Program Studi (Prodi) Agribisnis, meraih gelar guru besar dalam Bidang Keilmuan Agribisnis Pangan.
Prof Erlyna dikukuhkan sebagai guru besar oleh Rektor UNS, Prof Dr Hartono dr MSi di Auditorium GPH Haryo Mataram, UNS, pada Senin (10/2) pekan lalu.
Dalam pengukuhannya, Prof Erlyna membacakan pidato inaugurasi berjudul “Pengembangan Industri Porang (Amorphophallus muelleri Blume) Menuju Pasar Global”.
Dalam pidatonya, guru besar ke-49 pada FP tersebut menyampaikan bahwa konsumsi pangan dunia semakin meningkat akibat peningkatan jumlah penduduk.
Kebutuhan pangan yang paling pokok adalah pangan yang mengandung karbohidrat.
Konsumsi pangan ini berasal dari serealia dan umbi-umbian.
Umbi-umbian juga mengandung antioksidan yang membantu melindungi tubuh dari radikal bebas.
Data Food and Agriculture Organization, Benua Asia menunjukkan tren peningkatan umbi-umbian sering dikonsumsi sebagai bahan pangan pokok maupun pelengkap.
Negara-negara di wilayah Pasifik, umbi-umbian merupakan bagian integral dari budaya pangan tradisional sehingga tren peningkatan konsumsi pada wilayah ini menunjukkan tren yang positif.
Jenis umbi-umbian yang dikonsumsi meliputi ubi jalar, ubi kayu, gadung, gembili, talas, dan porang.
Salah satu umbi-umbian yang mengalami peningkatan produksi dan olahannya adalah umbi porang.
Porang memiliki nilai ekonomis tinggi karena kandungan glukomanannya.
Glukomanan diekstraksi dari umbi porang yang digunakan sebagai pengental, pengemulsi, penstabil, dan agen pembentuk gel.
Porang dimanfaatkan dalam industri pangan, farmasi, kosmetik, dan kimia.

Komoditas porang atau dikenal dengan “iles-iles” mengalami kenaikan popularitas belakangan ini, namun sebenarnya keberadaan tanaman porang di Indonesia sudah ada sejak zaman nenek moyang.
Awal pandemi Covid-19, komoditas porang mulai meningkat permintaannya.
Harga beras shirataki yang mengandung glukomanan pada saat pandemi Covid-19 dijual dengan harga lebih dari Rp 200.000,00 per kg.
Pada saat itu, harga umbi porang di Kabupaten Madiun mencapai Rp 15.000 per kg dan di daerah sentra produksi lainnya kurang dari harga tersebut.
“Pengembangan agroindustri porang tidak hanya memberikan keuntungan finansial yang signifikan, namun juga menciptakan peluang diversifikasi produk, peningkatan kesejahteraan petani, dan berkontribusi terhadap nilai ekspor nasional,” terang Prof Erlyna.
Prof. Hartono mengingatkan kepada para guru besar yang baru dilantik agar menggunakan kepakarannya untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Para guru besar diharapkan untuk terus berdedikasi dan berkomitmen dalam menghasilkan karya ilmiah terbaik di bidang masing-masing. (*)