Setelah kembali ke Tanah Air, Hardika Dwi Hermawan menjadi dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Namun, kontribusinya tidak berhenti di situ.
Ia mendirikan Desamind, sebuah organisasi nonprofit yang ditujukan untuk anak muda Indonesia baik di dalam maupun luar negeri.
“Kami ingin mendorong lahirnya local hero bagi pengembangan desa yang mereka itu punya world class competence, tetapi punya strong grass root understanding. Jadi saya pengin banyak melihat anak-anak desa ini, sekolah tinggi keluar sana, tapi mereka punya pemahaman lokal yang bagus dan mereka nanti mau mengembangkan desa,” jelas Dika.
Ada empat alasan mengapa Dika memilih desa sebagai fokus pengabdiannya:
1. Pola pikir di desa yang masih perlu dikembangkan
2. Menjembatani kesenjangan antara pemuda desa yang ingin melihat dunia dengan mereka yang sudah berkeliling dunia namun tidak memperhatikan desa
3. Mengajak aktivis kampus untuk membangun desanya sendiri
4. Mengatasi disparitas informasi dan mendorong mereka yang merantau untuk kembali berkontribusi
Desamind telah melakukan banyak proyek konkret, salah satunya adalah memberikan beasiswa kepada anak muda dari desa.
Beasiswa ini tidak hanya mencakup biaya pendidikan dan uang saku, tetapi juga kurikulum khusus tentang kepemimpinan desa dan pelatihan agar mereka dapat membawa desanya ke jenjang yang lebih maju.
Selain itu, Desamind juga membentuk chapter (cabang) yang berpartner dengan desa untuk mengembangkan usaha atau melakukan pendampingan program.
Contohnya adalah Desamind Farm, sebuah peternakan desa yang merupakan hasil kerja sama antara pengurus Desamind dengan peternak lokal.
Saat ini, Desamind telah tersebar di 16 chapter, mulai dari Aceh hingga Asmat, dengan lebih dari 350 pengurus.
“Alhamdulillah, sudah setengah dekade Desamind itu ada dan kita sudah melibatkan sekitar 28.000 masyarakat untuk berpartisipasi, dengan lebih dari 280 project sosial dengan kemitraan hingga 200 lembaga dari mulai lokal hingga internasional,” ungkap Dika.
Dika percaya bahwa pemuda memiliki potensi yang sangat besar bagi kemajuan Indonesia.
Ia menggolongkan pemuda dalam tiga kelompok, yakni pemuda sebagai penerima manfaat, pemuda sebagai mitra kolaborasi, dan pemuda sebagai pemimpin atau inisiator.
“Kita ingin membuktikan bahwa anak muda ini bisa melakukan sesuatu dan tanggung jawab. Melunasi janji kemerdekaan itu bukan hanya tanggung jawab negara, tapi tanggung jawab kita juga sebagai bagian dari masyarakat Indonesia itu sendiri,” tegas Dika.
Dika juga menekankan pentingnya berempati dan memahami tanggung jawab sosial.
“Saya rasa itu yang paling penting, berempati. Melihat sekitar bahwa tanggung jawab sekitar itu juga ada tanggung jawab kita sendiri. Tanggung jawab moral sama sosial pun ada di diri kita sendiri. Jadi ya with great knowledge come great responsibility,” ujarnya.
Melalui perjuangan dan dedikasinya, Hardika Dwi Hermawan telah membuktikan bahwa pendidikan tinggi bukan untuk menjauhkan diri dari akar, melainkan untuk kembali dan menyalakan lilin-lilin harapan di pedesaan Indonesia.
Dika lantas meninggalkan pesan berharga bagi para pemuda Indonesia.
“Tan Malaka pernah mengatakan bahwa bila kita sekolah tinggi-tinggi dan menganggap diri kita terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali,” ungkapnya.
“Indonesia itu besar bukan hanya karena obor di Jakarta, tapi karena lilin-lilin di desa. Makanya ayo bareng-bareng lah bersama kami, masih banyak PR yang perlu kita kerjakan bersama dan saya rasa masa depan Indonesia itu ada bareng-bareng di tangan kita semua,” tandasnya. (*)