Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa negara wajib memberikan pendidikan dasar secara gratis selama sembilan tahun, mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP), termasuk pada sekolah swasta tertentu. Namun, MK juga memberi pengecualian bagi sekolah swasta dengan karakteristik tertentu yang tetap diperbolehkan memungut biaya pendidikan dari siswa.
Putusan tersebut dibacakan pada Selasa (27/05), setelah MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi atas frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa negara, baik melalui pemerintah pusat maupun daerah, wajib membebaskan biaya pendidikan dasar pada satuan pendidikan SD, SMP, dan madrasah atau sederajat, tanpa membedakan status sekolah negeri atau swasta.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam pertimbangan hukumnya menjelaskan bahwa frasa dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas yang selama ini hanya berlaku untuk sekolah negeri telah menyebabkan “kesenjangan akses pendidikan dasar”, terutama bagi siswa yang terpaksa menempuh pendidikan di sekolah swasta karena keterbatasan daya tampung sekolah negeri. “Sebagai ilustrasi, pada tahun ajaran 2023/2024, sekolah negeri di jenjang SD hanya mampu menampung sebanyak 970.145 siswa, sementara sekolah swasta menampung 173.265 siswa,” ujar Enny. “Adapun pada jenjang SMP, sekolah negeri tercatat menampung 245.977 siswa, sedangkan sekolah swasta menampung 104.525 siswa,” tambahnya.
Lebih lanjut, Enny menekankan bahwa keberhasilan implementasi putusan ini sangat bergantung pada efektivitas dan keadilan dalam alokasi anggaran pendidikan. “Termasuk bagi masyarakat yang sulit mengakses sekolah negeri,” kata Enny.
MK juga memahami bahwa tidak semua sekolah swasta memiliki kondisi pembiayaan yang seragam. Dalam hal ini, sekolah swasta yang menyelenggarakan kurikulum tambahan selain kurikulum nasional, serta sekolah yang tidak menerima bantuan pemerintah, berada dalam posisi yang berbeda. “Dalam kasus ini, peserta didik secara sadar memahami konsekuensi pembiayaan yang lebih tinggi sesuai dengan pilihan dan motivasinya ketika memutuskan untuk mengikuti pendidikan dasar di sekolah atau madrasah tertentu,” ujar Enny.
MK menyoroti bahwa beberapa sekolah swasta menerima bantuan pemerintah seperti dana BOS atau beasiswa, namun masih memungut biaya dari peserta didik. Sebaliknya, terdapat pula sekolah swasta yang sepenuhnya mengandalkan pembiayaan mandiri karena tidak menerima atau memilih untuk tidak menerima bantuan dari pemerintah. Menurut MK, adalah tidak tepat memaksa seluruh sekolah swasta untuk menggratiskan biaya pendidikan secara menyeluruh, mengingat keterbatasan fiskal negara.
Kendati demikian, MK menekankan pentingnya agar sekolah swasta tetap menyediakan akses pendidikan yang adil, khususnya di wilayah yang kekurangan sekolah negeri atau sekolah swasta penerima bantuan negara. “Terutama bagi daerah yang tidak terdapat sekolah atau madrasah yang menerima pembiayaan dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah,” ucap Hakim Enny.